10/01/12

Perkembangan Sistem Pemerintahan, Struktur Birokrasi, dan Sistem Hukum pada Masa Kolonial




1. Sistem pemerintahan kolonial
    Pemerintahan kolonial Belanda diawali dengan dibentuknya lembaga dagang VOC
yang memiliki pengurus terdiri atas tujuh belas orang yang disebut De Heeren Zeventien
(Dewan Tujuh Belas). Lembaga ini berpusat di negeri Belanda. Sebagai pelaksana harian
di Indonesia, Dewan Tujuh Belas mengangkat gubernur jenderal yang didampingi Dewan
Hindia. Dewan Hindia (Ideler) ini beranggotakan sembilan orang yang sebagian menjabat
gubernur di daerah seperti Banten, Cirebon, dan Surabaya. Gubernur jenderal bersama
Dewan Hindia mengemudikan pemerintahan VOC di Indonesia yang kekuasaannya tidak
terbatas. Selain gubernur jenderal, diangkat pula seorang direktur jenderal yang bertugas
mengurusi perniagaan serta mengurus perkapalan.



     Setelah VOC runtuh, Indonesia diperintah oleh Deandels, seorang yang pandai tetapi
diktator. Ia membagi Pulau Jawa menjadi sembilan karisidenan yang dikepalai oleh
seorang perfect. Ia juga mendirikan pengawas keuangan (Algemene Rekenkamer). Sikap
otoriter Daendels menyebabkan banyak peperangan dengan raja-raja daerah serta keburukan
pemerintahannya, sehingga ditarik kembali pulang ke negeri Belanda.

Selanjutnya, Indonesia jatuh ke tangan Inggris di bawah Raffles yang memiliki
kepribadian yang simpati dan liberalis. Dalam menjalankan pemerintahannya di Indonesia,
Raffles didampingi oleh badan penasihat (advisory council). Adapun tindakan yang
diambilnya adalah

a. membagi Pulau Jawa menjadi 16 karesidenan, setiap karesidenan dibagi dalam distrik,
   setiap distrik terdapat divisi (kecamatan);
b. mengubah sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi menjadi
   sistem pemerintahan kolonial yang bercorak Barat;
c. para penguasa pribumi dan para bupati dijadikan pegawai kolonial dan digaji.

2. Struktur birokrasi kolonial
    Dalam rangka politik Pax Nederlandica, Belanda banyak menggunakan tenaga
pribumi yang mampu mengerjakan administrasi pemerintahan, yang memiliki keterampilan
dan latihan kerja yang memadai dalam berbagai jenis kegiatan. Untuk memenuhi kebutuhan
tenaga pribumi yang memiliki kemampuan dan keterampilan maka didirikan sekolah untuk
mendapat pendidikan yang terampil dan berpengetahuan, agar nanti dapat dipekerjakan
pada kantor-kantor milik pemerintah kolonial.

     Pusat pemerintahan Belanda di Batavia membutuhkan banyak tenaga untuk
melaksanakan tugas guna mengikat hubungan dengan daerah-daerah di seluruh wilayah
Indonesia. Sementara itu, adanya perluasan hubungan antara pemerintah kolonial di
Batavia dengan negeri induknya, serta dengan daerah-daerah di seluruh Nusantara,
menuntut adanya desentralisasi hubungan. Pemikiran yang demikian akhirnya mendorong
dibentuknya Volksraad pada tahun 1918 dengan tujuan agar hubungan dengan rakyat
Indonesia semakin lebih baik.

3. Sistem hukum
     Pada tahun 1838, di negeri Belanda telah diundangkan hukum dagang dan hukum
perdata. Hal ini terdorong oleh adanya kegiatan perdagangan hasil bumi orang-orang
Belanda dengan perantara pedagang Cina. Politik hukum pemerintahan kolonial Belanda
dapat diperlihatkan dalam Pasal 131 Indische Staatsregeling yang menyangkut hukum
orang-orang Indonesia. Dalam pasal tersebut diatur bahwa hukum perdata dan dagang
serta hukum acara perdata dan pidana harus dimasukkan dalam kitab Undang-Undang.
Golongan bangsa Eropa harus menganut perundang-undangan yang berlaku di negeri
Belanda, sedangkan golongan bangsa Indonesia dan timur asing dapat dikenakan ketentuan
hukum orang Eropa apabila dikehendaki.

     Pada tahun 1855 sebagian dari kitab Undang-Undang Hukum Perdata telah memuat
hukum kekayaan, begitu juga hukum dagang bagi orang-orang Cina. Selanjutnya, pemerintah
kolonial Belanda dalam membentuk kitab undang-undang bagi orang Indonesia maka
hukum adat selalu menjadi bahan pertimbangan hukum.


     Menurut peraturan pemerintah kolonial 1854 dan peraturan Hindia Belanda 1925,
bidang hukum dan peradilan Hindia Belanda dibagi atas dua bagian, yaitu pengadilan
gubernemen dan pengadilan pribumi. Pengadilan gubernemen dilaksanakan oleh pemerintah
kolonial melalui pegawai pemerintahan sesuai dengan aturan hukum, sedangkan pengadilan
pribumi dilaksanakan berdasarkan hukum adat yang pada umumnya tidak tertulis.
Pada tahun 1819 didirikan Hoog Gerechtschof (Mahkamah Agung), yang kemudian
memiliki kekuasaan untuk mengawasi pengadilan di Jawa. Pada tahun 1869 berdasarkan
keputusan raja, para pegawai pamong praja dibebaskan dari pengadilan pribumi. Pada
tahun 1918 berlaku hukum pidana Hindia Belanda yang didasarkan pada kitab Undang-
Undang untuk pengadilan bagi orang Eropa dan pribumi tidak ada perbedaan hukum.


0 komentar:

Posting Komentar